Selasa, 16 Maret 2010

Perempuan: kurang pede (nice untuk jadi renungan)

Perempuan: Kurang PeDe?
Kategori: Umum (196 kali dibaca)
Sebuah penelitian di Amerika Serikat yang dilakukan oleh American Association of University Women menunjukkan bahwa banyak perempuan Amerika masa kini memiliki persepsi negatif terhadap diri mereka. Perempuan juga lebih cenderung membatasi potensi diri dalam kemampuan kreatif dan intelektual. Kecenderungan ini khususnya melanda para remaja. Remaja perempuan memiliki tingkat kepercayaan diri yang rendah, dibandingkan dengan laki-laki seusia mereka. Remaja perempuan juga lebih rentan akan depresi dan perasaan tidak berdaya, dan empat kali lebih cenderung melakukan percobaan bunuh diri bila dibandingkan dengan remaja laki-laki (lihat Orenstein, [1994] 2006).

Fakta-fakta ini tentunya mengundang sebuah pertanyaan: Apakah memang sudah "kodratnya" bahwa perempuan lebih tidak PeDe? Atau, mungkinkah kepercayaan diri perempuan lebih rendah karena perempuan adalah makhluk yang pasif dan submisif?

Jurnalis kawakan Peggy Orenstein ([1994] 2006) melakukan sebuah penelitian yang dapat menjawab pertanyaan di atas. Dari penelitian tersebut, setidaknya sebuah jawaban dapat diajukan: Perempuan memiliki kepercayaan diri yang rendah bukan hanya semata-mata karena mereka perempuan, yang dianggap lebih pasif daripada laki-laki. Yang terjadi adalah: perempuan memiliki kepercayaan diri yang rendah karena didukung oleh situasi lingkungan, terutama di sekolah. Sekolah-sekolah memiliki “kurikulum tersembunyi” (hidden curriculum) yang membatasi perkembangan kepercayaan diri dan potensi diri murid-murid perempuan. Guru adalah salah satu medium dalam “kurikulum tersembunyi” yang merugikan perempuan ini, walaupun guru-guru tidak selalu sadar akan hal tersebut.

Karena usia remaja merupakan fokus dari penelitian mengenai turunnya tingkat kepercayaan diri perempuan, Orenstein melakukan penelitian di beberapa sekolah tingkat menengah di California. Sekolah-sekolah yang ditelitinya beragam tingkat status sosial-ekonominya, tapi rata-rata sekolah-sekolah tersebut memiliki kualitas yang cukup baik.

Dalam observasi yang dilakukan di dalam kelas-kelas yang dikunjunginya, Orenstein mengamati bahwa guru-guru cenderung membiarkan murid-murid laki-laki menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, bahkan ketika mereka tidak mengidahkan etika dalam menjawab, seperti mengangkat tangan ketika ingin bicara. Banyak murid-murid laki-laki yang berteriak dan memaksa untuk menjawab pertanyaan dibiarkan begitu saja. Sebaliknya, murid-murid perempuan yang mengangkat tangan sering luput dari perhatian.

Tapi mengapa perempuan lebih cenderung mengangkat tangan dan menunggu, daripada berteriak seperti teman laki-laki mereka? Apakah berarti yang bandel dan bertingkah hanyalah anak laki-laki? Tidak. Orenstein juga mengamati bahwa tidak jarang murid perempuan bersikap bandel dan bertingkah ketika berinteraksi dengan guru dalam menjawab pertanyaan. Namun, murid perempuan yang bandel mendapat “hukuman” yang lebih berat daripada murid laki-laki. Meskipun kedua murid mendapatkan nilai buruk di rapor mereka dalam hal citizenship, tetapi guru cenderung memberikan penilaian negatif secara informal pada perempuan, tetapi tidak pada laki-laki. Perempuan yang bandel ditanggapi secara serius, sedangkan laki-laki tidak dimarahi secara sepadan. Seakan-akan murid laki-laki diberi anggukan akan perilaku bandelnya. Seperti kata orang: “Ya namanya juga anak laki-laki…” Sebaliknya, perempuan “dihukum” lebih keras ketika bertingkah bandel karena perempuan dinilai “tidak sepantasnya bandel.”

Karena penilaian seperti ini, murid-murid perempuan (bahkan yang mengaku sebagai “anak berani” atau “independen” di luar kelas) akan berlaku selayaknya domba yang penurut di dalam kelas. Mereka juga cenderung lebih bersikap malu-malu ketika menjawab pertanyaan, atau lebih cenderung berdiam diri. Dalam jangka waktu yang panjang, perbedaan perlakuan terhadap perempuan dan laki-laki seperti yang terjadi di dalam kelas dapat mempengaruhi kepercayaan diri perempuan.*)

**

Perlu ditekankan bahwa guru, sebagai individu, hanyalah pelaku dalam sebuah sistem yang masih memandang perbedaan antara “yang maskulin” dan “yang feminin” sebagai sesuatu yang selalu “natural.” Banyak orang tidak memperhatikan sejauh mana peran lingkungan membentuk sifat, konsep diri, dan perilaku “natural” anak perempuan dan anak laki-laki.

Mungkin apa yang akan saya sampaikan berikut bukanlah sebuah penelitian ilmiah yang bisa digeneralisasi, tetapi cukup menarik sebagai sebuah contoh kasus:

Ketika saya bekerja paruh waktu sebagai guru di sebuah day-care, saya banyak ditempatkan di bagian toddlers (kira-kira usia satu hingga tiga tahun), walaupun kadang-kadang saya juga mengajar pre-schoolers (berkisar antara usia tiga hingga lima tahun). Bersama toddlers, saya seringkali bermain tea-time. Saya akan berkata: “Let’s have some tea, friends!” Dan peralatan makan dan minum tersedia di depan saya. Seringkali, yang semangat menanggapi saya adalah anak-anak laki-laki. Mereka akan berlari dan duduk dengan manis membentuk lingkaran. Kemudian saya akan bertanya: “Who wants to bake some brownies?” Atau “Who wants to make the tea?” Anak-anak laki-laki akan dengan semangat mengajukan diri untuk melakukan semua itu. Lalu biasanya ada seorang anak laki-laki yang akan berperan sebagai host, dengan rajinnya mengelilingi lingkaran dan menuangkan teh di cangkir-cangkir yang “kosong.” Bagaimana dengan anak-anak perempuan? Seringkali mereka terlalu sibuk bermain mobil-mobilan dan kereta api. Malah terkadang mereka senang karena tidak ada saingan berebut mobil-mobilan.

Contoh lain: Beberapa anak-anak laki-laki, seperti halnya beberapa teman perempuan mereka, gemar bermain peran sebagai orang tua. Anak-anak laki-laki ini akan menimang boneka bayi, menyelimutinya, menyuapinya, dan menepuk punggungnya hingga si boneka “tertidur.” Sama halnya dengan bermain dapur-dapuran. Biasanya anak-anak laki-laki sangat senang bermain dapur. Mereka dengan rajinnya memasak, mencuci piring, memotong sayur, menyuguhi makanan pada guru, menyuapi guru, dan lain-lain.

Tetapi hal ini berubah ketika anak-anak memasuki ruang pre-school. Anak-anak laki-laki jarang bermain dapur atau menimang boneka bayi – mereka lebih suka kebut-kebutan dengan mainan mobilnya. Mereka juga membawa mainan superhero dan mobil-mobil truk dari rumah. Sedangkan anak-anak perempuan, yang datang ke sekolah dengan baju-baju berenda, akan bermain dengan boneka Barbie yang dibelikan oleh orang tua atau keluarga mereka, atau bergosip (ya, bergosip!) di waktu luang. Mengapa perubahan ini terjadi?

Saat itu, sebagai seorang murid sosiologi, saya hanya bisa menduga berdasarkan pengetahuan yang telah saya pelajari. Salah satu dugaan saya adalah bahwa ketika mereka sudah lancar berbicara dan bersosialisasi, anak-anak ini lebih banyak “menggunakan” pemahaman gender yang disuguhkan oleh orang-orang di sekitarnya: orang tua, kakak, keluarga besar, guru, teman-teman yang lebih besar, dan lain-lain. Juga oleh media: apa yang ada di TV, di buku-buku cerita, dan di film-film layar lebar. Para anak perempuan akan lancar bercerita soal the Little Mermaid, Cinderella, atau Thumbelina. Dan anak-anak laki-laki akan lancar bercerita soal film Cars, Batman, dan sejenisnya. Jadi, dengan kata lain, tingkah laku "manis" perempuan bukanlah sebuah "kodrat."

Tapi sekali lagi, ini hanya sebuah bentuk informed guess. Namun pengalaman bersama anak-anak kecil ini seringkali mengilhami saya ketika membaca dan belajar mengenai penelitian dan pemikiran soal gender di luar sana.

Lalu, bagaimana dengan nasib anak-anak perempuan Indonesia? ****


Intan Suwandi: mengajar sosiologi di Northampton Community College, Pennsylvania, USA.

hanya sebuah catatan kecil dari silmy

saya masih ingat dengan pelajaran pertama saya tentang leadership dari treman yang berada di komisariat hukum. saya belajar banyak tentang organisasi, menejemen konflik, dll. ketika saya terapkan hal tersebut di tempat saya rupa-rupanya ada sedikit miss tentang pemahanya saya akan perbedaan kultur didalam sebuah organisasi. rupanya saya perlu membuat formula baru akan keorganisasian. saya terapkan penekanan-penekanan tentang menejemen konflik yang sering diterapkan pada militer, hmmm tapi mungkin hal ini masih kurang berhasil. perlu saya ketahui kembali akan pentingnya memahami, membaca, dan menganalisis setiap persona yang mendatangi saya.

formula kedua saya bisa mempertahankan UPP didalam struktur keorganisasian. cukum menggembirakan, tapi saya dengan idialisme tidak bisa terus menurus terkurung didalam kandang. saya mengalami titik kejenuhan didalam komisariat. mungkin hal itu wajar bagi seorang kader, tapi saya tidak boleh meninggalkan tanggung jawab begitu saja. saya tetap berada didalamnya namun dengan memiliki dua sayap cadangan yang bisa menolong saya saat sayap yang saya pakai ini patah. dan saya pun akan terus mempertahankan sayap-sayap yang saya miliki.